google-site-verification: google79160b4318c1407b.html Cerita Kehidupan : Elegi Kasih Seorang Kakak (2) | goresan dari hati -->

Inilah Saya

Name

Email *

Message *

Wednesday, 18 November 2015

Cerita Kehidupan : Elegi Kasih Seorang Kakak (2)

Sosok itu berlari kecil menyongsong kami dengan
senyum lebar, mataku berkaca melihat tubuhnya yang semakin kurus, namun senyum tetap kupasang.
"Surprais!" Serunya, aku hanya tertawa bahagia, inilah pertama kalinya aku berkunjung semenjak perselisihan sore itu, sepanjang hari kami bercakap-cakap hingga menyinggung masalah penyakitnya.
"Kenapa tidak berobat secepatnya?" Tanyaku setengah protes.
"Malas....tapi sekarang tidak lagi, sudah ada kalian yang akan merawat.." senyumnya penuh arti, memang dikalangan kerabat aku dan Ida adalah perawat yang baik bila ada yang sakit dan perlu perawatan intensif. Hari berlalu, kami pulang dengan bahagia, meski jauh dilubuk hatiku ada rasa sedih yang tiba-tiba menyelusup, apalagi teringat hasil browsing itu.

Siang terik dikampus hijau ketika hpku berdering,
" kamu lagi dimana?" Suara khas kak Aca, "Bisa nyusul kesini?" Tukasnya tanpa memberiku kesempatan menjawab dan menyebutkan salah satu nama rumah sakit dikotaku, aku segera mengiyakan, meski sebentar lago ada kuliah Tata Negara, tapi suara itu membuatku tak sanggup menolak permintaannya, aku segera menyusul dan benar saja, diteras Privat Centre iparku menyambut dengan mata sembab.
"Kak Aca mana?" Tanyaku tak sabar, tak lupa mencium tangannya, tanpa menjawab ia membimbingku masuk, mendapati kakakku tersenyum lebar.
"Bagaimana hasil diagnosanya?" Tanyaku lirih.
" Sementara dibawa ke lab darah kakak, tapi kata dokter kakak positif kanker hati, hasil pemeriksaan darah yang akan memastikan kebenarannya dan berapa lama kakak bertahan" penjelasan itu diberikannya tanpa beban, seperti menunjukkanku jawaban soal matematika yang sulit kumengerti, tanpa beban dan mantap, aku terhenyak tak percaya, berharap ini hanya mimpi buruk, tapi aku kecewa, kakakku masih dihadapanku, matanya cekung dan wajahnya pucat, dipeluknya aku sambil menghapus air mataku yang luruh tak terhenti.
"Tidak apa-apa sayang, kata dokter kakaj masih bisa sembuh, akan diusahakan pencangkokan hati atau langkah lain..." aku mengangguk, memeluknya erat, Tuhan....jangan dulu ambil raga muda ini, tak Kau lihatkah semangat hidupnya yang membara? Batinku dengan do'a yang terus mengalun

"Cepat bereskan piringnya dek...." perintah kak Intan sambil menyongsong kak Aca yang sedang menaiki tangga rumah kami dibantu istrinya yang tak henti menghapus air mata, hari ini peringatan 3 tahun wafatnya ayah kami, jadi kami berkumpul untuk memanjatkan do'a: bersama, walau rupanya kesedihan kami belum berakhir, hari ini kak Aca sudah memperoleh hasil pemeriksaan labnya dan hasilnya membuatku merinding, kanker hati yang diderita kak Aca sudah sampai stadium akhir, umurnya tinggal 2 bulan,artinya kami akan kehilangan lagi, kutatap kak Aca, teringat sumpah itu, air mataku menitik diiring sedu dan jerit sakit kak Aca, langitku runtuh, Tuhan....aku tak sanggup.....

"Dek....lantunkan shalawat untuk kakak...." lirih suara itu ditengah nafas. kakak yang menderu setelah perjuangan menahan sakit seharian, sakitnya nyaris membuatku mengiris jariku agar bisa memindahkan penderitaannya untungnya keburu dicegah kakakku yang lain, akhirnya kukabulkan permintaannya, pelan kuusap rambut basah itu, dan melafalkan shalawat Nabi sebisa mungkin bait demi bait, sekuat tenaga menahan air mata yang akhir-akhir ini makin sering menitik menatap wajah teduh itu, kumis tipisnya, yang biasanya manis bertengger kini basah oleh keringat dingin, mata itu perlahan terkatup, lelap dalam lelah perjuangan menahan sakit, malam beranjak dan akupun tersungkur lelah disisinya, hingga jelang subuh kak Aca terbangun dan menggamitku.
"Dek....kakak mimpi indah sekali...." bisiknya.
"Mimpi apa kak?" jawabku sambil melap liurnya yang kadang keluar tanpa disadarinya.
"Kakak mimpi berjalan-jalan disuatu tempat yang indah, dan sesosok bayangan mendatangiku dan menjelaskan bahwa balasan dari setiap lantunan shalawat, sebesar gunung dan seluas samudra, selamat ya dek...semalam kamu pasti bershalawatnya lama sekali..."
"Amin......kak" tukasku haru, namun secercah cemas semakin membayang.

Hari-hari berlalu seperti dineraka, kondisi kak Aca semakin menurun, dokter bahkan sudah angkat tangan, kami sudah menghitung mundur sejak vonis maut itu diucapkan, berusaha memberi beliau kebahagiaan, dan itu bukan pekerjaan mudah, ditengah air mata kami mengiring jerit kesakitannya.
"Ya Allah, sakit sekali......seperti dicabik-cabik...." kak Aca merintih sambil mendekap ulu hatinya dan perutnya yang mulai membengkak, aku bergegas memijat betisnya, berusaha memberikan rasa nyaman . " Dek...kakak tidak tahan..." ia melololong, berteriak, keringatnya bercucuran, tubuhnya mengejang, kulihat urat- urat perutnya menghitam seperti yang telah dipesankan dokter pada kami, bahwa saat kanker itu menyebar maka akan menimbulkan bilur-bilur seperti urat di sekitar organ yang terkena, duh....aku tak bisa membayangkan rasa sakit yang ditanggung kakakku, rintihannya membuatku merasa terkoyak-koyak.
" Daeng minum obatnya ya....." bujuk kak Bulan, istrinya sambil meraih tubuhsuaminya, kak Aca menurut, obat berukuran kecil itu ditelannya dengan susah payah, perlahan kesadarannya hilang, berganti deru nafas yang tak teratur, kami terdiam, tapi air mataku tak tertahankan, mengapa Kau siksa kakakku seperti ini ya Allah...keluhku dalam hati, bergegas berwudhu dan shalat sunnah 2 rakaat, kebiasaan yang kerap kulakukan tiap kali kakak kesakitan, karena sajadah itu satu-satunya tempat terhangat untukku mengadukan pedih.
"Tolong.....tolong......" kudengar igauan kakak dalam tidurnya bergegas aku mendekat dan menggenggam tangannya, ia terbangun dengan keringat bercucuran.
"Obat apa yang diberikan tadi?" Tanyanya sambil menatapku, aku gelagapan, dan sebelum sempat berargumen diraihnya bungkus obat disisi tempat tidur dan membaca mereknya, "Ida...." serunya memanggil ponakanku yang tergesa datang.
"Tolong cari di google apa kualifikasi obat ini...." perintahnya yang langsung dilaksanakan Ida setelah melihat anggukanku, 10 menit berlalu ketika Ida muncul sambil menenteng laptop, kak Aca kami sangga dengan bantal dan turut menyaksikan hasil browsing kami disalah satu website yang khusus menganalisa jenis obat, sejenak kening kak Aca berkerut membaca kualifikasi obat yang baru saja ditelan dan membuatnya bisa tidur meski dengan halusinasi yang bergantian.
"Astagfirullah, kalian mencecoki aku dengan morfin?!" Serunya sambil menatap kami dengan pandangan menghakimi, maklum di layar tercantum bahwa obat tersebut adalah morfin dosis tinggi.
"Tapi itu dengan resep dokter Kak, lagipula untuk menghilangkan sakit kakak..." aku coba membela diri, disambut senyum sinisnya
"Duh, dasar pengedar.....biar bagaimana ini tetap morfin, Masya Allah teganya kalian...aku jadi pemakai dan adik serta istriku jadi pengedar,, ...." ratapnya, sambil melemparkan obat- obat itu kesudut ruangan, kami hanya mampu terdiam, tak tahu harus bicara apa, sejak itu kakak tak pernah lagi mengkonsumsi obat penahan sakit itu, hingga ajal menjemput, dia tak ingin darahnya dikotori dengan obat yang memabukkan itu, meski kami tahu bahwa secara hukum kami tidak bersalah karena membelinya berdasarkan resep dokter, namun kami menghargai beliau, dan hanya mampu menangis bila rasa sakit itu datang dan ditahannya hingga tak sadarkan diri, duh...kakakku sayang.....

Pagi baru saja memerah diterpa sinar mentari desember yang malu-malu, keadaan kak Aca membaik, rasa sakitnya semakin berkurang, kami sudah mulai bercanda, tapi dia belum mau melepasku pergi dari sisinya, ada saja permintaannya, mulai dari mengurut punggungnya, mencari uban, osampai memencet jerawatnya satu-satu, hal yang jadi tugas rutinku lsepulang sekolah saat beliau belum menikah, pagi ini aku menyuapinya nasi goreng kesukaannya, tepatnya kami makan dalam satu piring, karena ia juga menyuruhku turut makan
"Nanti kamu ngiler...." godanya sambil tertawa melihatku cemberut, hal itu kami lakukan sambil mendengarkan ayat-ayat suci lewat MP3 dilaptopnya, ayat-ayat itu berkumandang surah demi surah, mengiring acara sarapan diteras rumah kak Aca, ketika tiba- tiba kak Aca menutup kupingnya, aku panik
"Kenapa Kak?" Tanyaku cemas, menatap wajahnya yang memucat, kak Bulan mendekat dan mendekap suaminya.
"Ampun....ampun...saya belum siap....." ceracau kak Aca, kali ini dengan tangis menghiba, aku tanggap begitu melihat layar laptop, Surah An Nazi'at sedang dibacakan dengan penuh penghayatan oleh salah satu qori terkenal dikotaku, mendayu dam mengingatkan tentang malaikat-malaikat pencabut, aku merinding, beranjak dan memindahkannya ke surah lain, berharap kak Aca bisa tenang kembali.

Sore basah dibulan Januari, bulan kedua sejak vonis itu bergulir, kondisi kak Aca semakin menurun, tapi kami khususnya kak Bulan istrinya belum menyerah, hari ini kami berencana membawa kak Aca kesalah satu tabib terkenal di luat daerah yang direkomendasikan salah satu tetangga, karena perjalanannya agak jauh, maka banyak hal yang harus disiapkan, aku hanya bisa menonton karena kak Aca melarangku menjauh dari sampingnya, seperti biasa aku sedang mencari-cari ubannya sambil membersihkan kepalanya dari berbagai ketombe dan kotoran lain, sementara itu ia tertidur dengan manisnya, nafasnya teratur ketika tiba-tiba ia terbangun
"Dek....kakak malas kalau berobat sejauh itu....." ujarnya dengan enggan, aku menunggu kelanjutan kata-katanya, "Lebih baik bawa kakak ke Ustad saja..." sambil menyebutkan nama salah satu guru spiritual dikota kami , aku mengangguk tanpa bertanya lagi, walau dengan tanya dihati.
"Semalam kakak mimpi......" sambungnya, seolah tahu aku sedang mendengarkannya, meski ia membelakangiku.
"Mimpi apa kak?" Aku penasaran.
"Mimpi ketemu tetta, kami menyeberang sungai bersama tapi beliau menyuruhku pulang karena sandalku ketinggalan...." lanjutnya, aku tertegun, mungkinkah itu penyebabnya hingga kak Aca minta dibawa ke Ustad? Dalam keluarga kami dzikir adalah salah satu ritual yang kerap kami lakukan bersama dibawah bimbingan seorang guru spiritual yang disebut Anrong Guru, dan tetta kami adalah salah satu pengikut yang setia dan rutin berdzikir setelah shalat Isya dan Subuh dengan tata cara yang diajarkan Anrong Guru tersebut yaitu penyatuan dzikir lisan dan hati, diantara kami bersaudara, hanya kak Acalah yang tak pernah ikut majelis dzikir itu tanpa kami tahu sebabnya, karena tiap diajak beliau selalu menghindar dengan alasan yang tidak jelas.
"Tolong kasi tahu kak Bulanmu, besok pagi- pagi kita harus segera kesana!" perintahnya, yang segera kulaksanakan

Pagi merekah dirumah Ustad, semalaman kakak kesakitan, dan diterapi oleh beliau dengan metode pengobatan tradisional, juga didakwahi filsafat hidup dunia akhirat, plus dzikir dan maknanya. Pagi itu wajah kak Aca nampak cerah, tubuhnyapun segar bugar, senyumnya merekah sambil menyeruput teh buatan tuan rumah, inikah keajaiban dzikir? Ya Allah....sembuhkanlah kakakku...doaku dalam hati, ketika mendadak adik kak Bulan memperdengarkan salah satu Surah di hpnya, Surah An Nazi'at, aku bergegas menyambar gadget itu untuk mematikannya, tapi kak Aca hanya tersenyum
"Tidak usah dek....kakak tidak takut lagi..." katanya sambil bersandar santai dengan wajah cerah, kami lagi-lagi terdiam dan bersitatap, mungkin saat itu kamilah yang ketakutan mendengar ayat-ayat itu dibacakan, dimanakah engkau malaikat maut?

Tuan rumah sedang sibuk menyiapkan makan siang, ketika mendadak kak Aca ingin pulang.
"Tapi Daeng, kita sudah janji untuk nginap semalam lagi...." kak Bulan coba mengingatkan, tapi sia-sia.
"Tak ada waktu lagi Bulan....." cetus kak Aca, kali ini dia sudah berdiri diluar pagar menunggui kami berkemas, padahal kemarin dia ditandu memasuki rumah pak Ustad, hari itu kamipun kembali kerumah, tentu saja setelah minta maaf berkali-kali.
"Dek....
kakak sebenarnya masih ada proyek, tapi kayaknya kakak sudah lelah...." curhat kak Aca sambil berbaring setengah duduk ditempat tidurnya,"Proyek apa Kak?" sambil memotong kue bolu lalu kusuapkan ke mulutnya.
"Kakak mau bikin mesjid, kamu liatkan, dikampung ini belum ada mesjid" keluhnya.
"Nanti ya....kalau kakak sudah sembuh, Insya Allah akan terwujud, kakak kan sudah mulai sehat..." harapku, memang sedari siang sepulang dari rumah Puang Ustad kondisi kakak membaik, hanya sekali-kali terasa pedih diulu hati tapi tak sehebat dulu, aku bahagia sekali, malam ini ia memintaku menemaninya bercakap-cakap hingga jelang subuh, lalu ia tertidur dengan senyum dibibir, akupun demikian, paginya kami berjalan-jalan mengitari kebun proyek pembibitan jatinya, beliau bahkan sempat sujud syukur atas kesempatan itu, alam tersenyum kembali bagiku, Tuhan, singkirkan mendung itu, sembuhkanlah kakakku, doaku.

Masih antri pembesuk diruang tamu, ketika kak Aca memintaku masuk kekamarnya, panik aku melihat wajah pucat dan kakinya yang membengkak, saat itu ba'da Dhuhur, ia tersenyum.
"Dek....kamu sabar ya...." sambutnya sambil membelai rambutku, aku terhenyak, seperti disiram es rasanya.
"Kenapa Kak?" tanyaku, walau jauh dilubuk hatiku aku merasakan tanda itu.
" Kakak sudah tak kuat lagi....sudah hampir waktunya dek, tolong hubungi kakak-kakak, aku perlu minta maaf khususnya pada kak Intan dan kak Nur, banyak sekali dosa kakak pada mereka..." perintahnya, aku belum juga beranjak, galau menekan langkahku untuk pergi.
"Kakak, mintalah padaNya, agar dipanjangkan umur.....bukankah Dia Maha Mendengar hambaNya....?" mohonku dengan menahan air mata.
"Sudah cukup dek....sudah banyak yang dikabulkan olehNya, kakak malu..." ujarnya, dan meraihku dalam dekapannya.
"Kalau kakak pergi, aku gimana? Tetta sudah tidak ada....kakaklah tempatku bersandar...." ratapku, memang diantara ketiga kakak lelakiku, kak Acalah yang paling dekat denganku, mungkin karena usia kami tidak terpaut jauh, dan ia sangat protektif padaku.
"Hus....adekku pasti kuat, kakak yakin kamu bakal tegar...." hiburnya, namun aku dapat merasakan basah dimatanya, dilepaskannya dekapannya dan mengecup keningku, " Sekarang panggil kak Bulanmu, ada yang perlu kakak bicarakan dengannya..."
Aku berlari keluar, menghampiri kak Bulan didapur dan menyampaikan permintaan kak Aca, menghubungi semua saudara agar segera datang dengan segenap kekuatanku, setelah itu aku luruh dalam tangisku disusul kak Bulan yang keluar dan memelukku dengan tangis, sementara itu diluar petir menyambar, hujan deras awal tahun menunjukkan kekuatannya menghantar malaikat maut melaksanakan tugas, entah kapan, tapi pasti!

Kondisi kak Aca semakin menurun, sepanjang malam kami berjaga bersama, kak Intan, kak Nur, kak Zen, dan Arif bergantian dengan ipar-ipar kak Aca menemani kak Aca, walau beliau sepenuhnya sadar, tapi tubuh kurus itu terlalu dingin saat disentuh, seperti memuaskan diri, ia minta dipeluk oleh kakak-kakak, bermanja, bahkan ingin disuapi, kadang masih ada canda, walau getir. Jelang subuh kak Aca kami larikan kerumah sakit setempat, sesuai permintaannya, "selama masih bisa, aku tak ingin menyerah, kalau infus dan selang oksigen jadi nafasku akan kujalani..." ujarnya disela nafasnya yang mulai pelan, ah, kanker hati memang telah merampas raganya, tapi tidak semangat hidupnya, dan benar saja di ruang ICU setelah pertolongan pertama, kondisi kak Aca membaik, suhu normal, tekanan darah normal, hanya Hbnya yang mengkhawatirkan, walau demikian aku masih saja berharap.
"Bawa aku keruang VIP, aku tidak mau mati dibangsal..." katanya disambut tawa kami sambil mendorong kursi rodanya menuju ruang perawatan, walau debar didadaku belum juga reda, apalagi sampai diruangan ia tersenyum kearah pintu yang kosong, senyum lebar khasnya.
"Senyum sama siapa kak?" tanyaku heran.
"Eh, dia ikut juga......" jawabnya misterius, dan tiba- tiba merintih kesakitan, kami panik, sepanjang pagi itu lolongan kak Aca menyobek-nyobek perasaanku, rasa sakitnya demikian luar biasa, menjelang dhuhur, rasa sakit itu reda, kak Aca tenang kembali dan mulai menyantap makan siangnya, tapi dimuntahkannya kembali
"Maaf sayang.....sudah tak bisa lagi...." keluhnya pada sang istri, yang mengalah, meletakkan mangkuk dan merengkuh suaminya dalam pelukan, selintas tercium wangi misterius dikamar itu, setelah kucari ternyata asalnya dari kepala kak Aca, iapun tertidur.

Adzan Dhuhur berlalu dalam hitungan menit, kak Aca tiba-tiba terbangun, dan minta didudukkan kak Intan dibantu kak Bulan segera merengkuhnya
"Dek.........." perintahnya padaku dalam gumaman, hingga aku minta ia mengulanginya.
"Uh....lemot....." aku tergagap....ah, kakakku masih sempat mengolok-ngolokku dengan senyum dibibir, sejurus dipeluknya leher kak Intan, disandarkannya kepalanya dibahu sang kakak, lembut kalimat Allah tercetus dari mulutnya diiringi jeritan kak Intan dan tangis kak Bulan, tubuh itu mendadak kaku, aku terhenyak, dan sekejap sadar memanggil dokter.
"Innalillahi wa Inna ilaihi roji'un...." dokter paruh baya itu akhirnya menyerah setelah melakukan segala cara menyelamatkan kakakku, sontak kami menangis, aku bahkan belum menyerah, masih kuguncang tubuhnya berharap kejadian hari- hari lalu terulang, dimana kakak biasanya akan sadar saat mendengar suaraku, tapi kakak tak bergeming, membuka matapun tidak, bibirnya bahkan mengatup dengan ssendirinya. Aku pasrah seiring tangis dan sirine memasuki jalan kampung yang dipadati pelayat, kak Aca memang cukup dikenal dikampung istrinya, beliau bahkan digadang-gadang sebagai calon kepala desa ditempat itu, karena dianggap banyak mendatangkan perubahan meski bersahaja, tapi harapan itu sirna seiring takdir diusianya yang yang ke 42......

Selamat jalan kak Arsyad, lihatlah alampun bersahabat saat pemakamanmu, hujan menepi, dan pelayat nyaris ribuan mengantarmu ke peristirahatan terakhir, mereka bahkan bersikukuh mengusungmu bergantian, menyusuri jalan desa yang kau rintis saat hidupmu, meski berkilometer jauhnya, tiada lagi pejuang desa itu, yang tak pernah bisa diam memerangi keterbelakangan, dia yang selalu menciumku bahkan sehari saja tak bertemu, seakan mengisyaratkan bahwa ia takkan lama bersamaku...

"Demi malaikat-malaikat yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) " (QS. An-Nazi'at 1-5)

Elegi Kasih Seorang Kakak
Untuk kakakku sayang Arsyad Mahmud Dg Ngawing






Ibu rumah tangga dan waktu luangnya

Powered by Blogger.