google-site-verification: google79160b4318c1407b.html Menuju Pintu Surga | goresan dari hati -->

Inilah Saya

Name

Email *

Message *

Wednesday, 20 December 2017

Menuju Pintu Surga




Zen mempercepat langkahnya menuju mesjid depan rumahnya, batinnya berpacu dengan lantunan iqamat dhuhur yang berkumandang lantang membelah siang yang mendung, rintik hujan tak diperdulikannya, pun perut melilit karena belum diisi santap siang sepulang dari sawah, hari ini ia marathon mengoperasikan traktornya berhubung sawah sekitarnya sudah mulai ditanami, artinya akses kesebidang sawah yang sedang digarapnya nyaris tertutup, dan siang ini ia berhasil menyelesaikannya meski mengorbankan waktu makan siangnya yang biasa dilakukan sebelum dhuhur, diabaikannya saran Tina istrinya untuk makan lebih dahulu sebelum menunaikan Dhuhur, pun filosofi tentang shalat yang kerap dilontarkan adik-adiknya yaitu "lebih baik memikirkan shalat saat makan daripada memikirkan makan saat shalat", buatnya waktu shalat adalah waktu terindah untuk bertemu RabbNya, saat paling berkualitas menabung untuk kehidupan selanjutnya, lagipula siapa bisa menjamin bahwa shalat kita lebih khusyuk setelah makan??? bukannya malah mengantuk atau hendak muntah karena kekenyangan, bukankah rasa lapar adalah salah satu cara mendekatkan diri pada Yang Di Atas, bukankah hal itu juga adalah konsep ibadah puasa , balasnya kadang bila mereka semua terlibat dalam diskusi panjang saat berkumpul dan biasanya saudara-saudaranya akan mengamini argumennya itu.
Zen menyudahi doa Asharnya, lalu dilanjutkan dengan tadarrus, buatnya membaca Alqur'an merupakan nutrisi hati yang paling mujarab, membuatnya bisa berlama-lama diatas sajadah, sebenarnya sejak muda Zein suka sekali menyanyi, di kala suntuk merundung, maka ia akan melantunkan lagu-lagu favoritnya dimana saja, entah di pematang sawah, dikamar atau didapur menemani sang istri yang sedang memasak, namun sejak perkenalannya dengan kelompok tabligh yang mengunjungi desanya kebiasaan itu berubah, sekarang setiap selesai menunaikan shalat lima waktu, maka ia akan khusyuk dalam ayat-ayat suci, hanyut dengan deraian air mata, ada kesejukan tersendiri dalam batinnya. Buat Zen kedatangan Jamaah itu kedesanya meerupakan hidayah indah, ceramah dan ajakan mereka untuk menyemarakkan mesjid dan menjauhkan kemusyrikan menggugah nuraninya, walau ada satu hal yang belum diterimanya secara penuh, yaitu cara dakwah dengan meninggalkan anak dan istri dengan dalih bahwa mereka sudah ada yang menjaga, yaitu Allah SWT, buat Zen anak dan istrinya adalah titipan Allah SWT yang harus ia pertanggung jawabkan lahir batinnya di hadapan Yang Maha, maka ia belum bisa melakukan hal itu kecuali bergantin dengan putra sulungnya, sekalian mengenal kampung halaman orang lain, lagi pula Zen merasa belum mampu mengimami keluarganya, khususnya sang istri Tina, meskipun mulai rajin menunaikan shalat lima waktu, namun tak sekalipun Zen mendengar istrinya membaca Alqur'an padahal setahu Zen istrinya berasal dari keluarga yang cukup religius, hingga suatu hari ketika sedang menikmati kopi sore iapun membuka percakapan,
"Dek,....boleh Daeng tanya sesuatu??" katanya sambil menghirup kopi dari cangkirnya.
"Apa Daeng? tanyakanmaki... " kata sang istri dengan logat setempat yang kental.
"hmmm.....kenapaki tidak pernahki kudengar mengaji? padahal mau sekalika dengar suarata mengaji"
Sejenak diam, Tina tidak menjawab, hanya tersenyum manis, menyambut pelukan Ipin putra bungsu mereka dengan kecupan, dan pembicaraan itu terhenti begitu saja, Zen kembli merenung, bertanya-tanya mengapa sang istri tak mau menjawab pertanyaannya, mungkinkah ia telah menyinggungnya, atau mungkin Tina memang tidak tahu membaca Al-Qur'an, sejenak Zen merasa bersalah, tapi sebagai suami seharusnya ia menayakan hal tersebut dan tanggung jawabnyalah agar istrinya bisa tahu dan memahami kitab suci agama mereka. Zen merinding, dia paling takut tidak bisa jadi imam yang baik bagi keluarganya, bukankah kehancuran iman keluarganya adalah neraka baginya?????? Perlahan ia beringsut, memohon ampun pada Yang Maha Kuasa atas kelalaiannya itu.

Gelap masih enggan meningggalkan bumi ketika Zen beranjak dari mesjid tempatnya menunaikan shalat subuh, rencana tadarrusnya akan dilanjutkan dirumah, semoga pintu hati istrinya terbuka jika mendengar ayat-ayat itu dilantunkan dari mulutnya sendiri, bukankah selama Tina suka sekali mendengar nyanyiannya??? semoga kali ini diapun suka dengan suaranya mengaji, dimantapkan hatinya melangkah menuju pintu, namun dua langkah dari pintu rumah, sayup didengarnya suara itu, perlahan iapun mengenali, suara perempuan, suara Tina istrinya, merdu memecahkan sunyi rumah dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an , Tina mengaji!!!! tak terkira takjub batin Zen, belum lagi suara itu begitu indah mengalun ditambah dengan tajwid dan harakat yang nyaris sempurna.

Zen terpaku dipintu kamar mereka, dan benar saja disana di atas sajadah Tina sedang menekuri kitab suci kesayangannya, melafal setiap ayat nyaris tanpa kesalahan dan artikulasi yang jelas seolah-olah sering membacanya, Zen mendekat, duduk perlahan di belakang sang istri, menunggu beberapa saat, hingga akhirnya Tina tersadar, menyudahi bacaannya,menyimpan kitab itu dan berpaling,
"Mau minum kopi????" lembut bertanya. Zen masih mematung.
"Daeng......." agak keras Tina memanggil, hingga Zen gelagapan, mendekat dan meraih sang istri dalam dekapan
"Suaramu merdu sekali dik....tidak kusangka..." pujinya tulus, Tina hanya tersenyum sumringah, menatap wajah teduh suami yang sudah bersamanya bertahun-tahun. Zen jarang memuji, kalau beliau sudah memuji berarti itu hal yang sangat dihargainya, Tina terharu.
"Maaf, baru sempat memenuhi permintaanta, padahal sudah lama saya mau mengaji, rindu juga setelah bertahun-tahun.." katanya lembut.
"Hmmmmmm....pasti Tetta aji (mertua Zen) yang ajariki,bagus sekali tajwid dqan harakatta Ndik..." puji Zen lagi mengingat tadi Tina mengaji dengan khusyuk dan lafal yang benar.
"Iye...sebagian dari beliau, sebagian dari guru kampung dan latihan, dulu saya pernah ikut lomba tilawah tingkat kecamatan, namun saat mau tampil, saya mendadak malu dan lari, akhirnya tidak jadi tampil" kisah Tina dengan senyum malu-malu mengingat kenangan masa kecilnya, Zen terkesima terselip malu dihatinya, sudah menganggap remeh kemampuan sang istri dalam mengenal kitab suci, dia yang baru saja rajin membaca kitab suci ini merasa sudah begitu sempurna dibanding Tina, padahal diakuinya lafalnyapun tak sesempurna sosok dihadapannya, kadang masih terbata, panjang pendeknya belum pas, belum lagi artikulasi, mengingat gigi yang mulai tanggal dimakan usia dan nikotin, iapun tertunduk, syukur campur malu berkecamuk dihatinya.
"Sebenarnya selama ini kalau saya dengar Daeng ngaji, mauka tegur kalau ada yang keliru, tapi takut...." Tina seperti mengerti isi hatinya. Zen tersenyum, ditatapnya perempuan yang jauh lebih muda darinya itu, serasa lepas bebannya.
"Tidak apa-apaji Ndik, yang penting jangan keras-keras negurnya..." senyumnya.

Pagi merekah, kicau burung bersahutan jerit Ipin dan Kerana meningkahi pagi, pun lengking Tina membangunkan si sulung Ahmad dan Pian memecah hari, tenang Zen menghirup kopi, memandang langit pagi, batinnya mengembara.

(Untuk kakakku sayang, Zaeni Dg Nuntung, cerita-ceritamu yang selalu kami dengarkan}



"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah yang mengajar( manusia )dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kemnbali(mu)" (Q.S. Al'Alaq :1-8)

Ibu rumah tangga dan waktu luangnya

Powered by Blogger.